我們只售賣RELX電子煙原裝煙彈,一顆煙彈可以使用3-5天。 提供100%原裝正品RELX煙彈,悅刻菸彈, 各種不同口味齊全,正品RELX專用煙彈現貨快速發貨。 選擇RELX悅刻電子菸煙彈,不要猶豫,按下加入購物車,為你將要到來的時尚和愉快下單!
Seperti yang diberitakan oleh mediaindonesia.com (24/10/2014), Menurut Ketua Komnas Anak Indonesia, Arist Merdeka Sirait, “Indonesia sudah masuk tahap darurat nasional untuk soal pelanggaran hak anak. Sebagian besar kasus yang terjadi di Indonesia terkait kejahatan seksual. Hampir separuhnya dan biasanya pelakunya ialah orang dekat.”
Apa yang diutarakan oleh Arist, pernah disampaikan juga ketika IDKITA di undang bersama Komnas Anak Indonesia untuk mengisi seminar dan dialog tentang pedofilia, yang diselenggarakan Persatuan Wanita Katolik Republik Indonesia cabang St. Servatius – Kampung Sawah – Bekasi, pada 8 Juni 2014 yang lalu.
Mengutip apa yang diberitakan mediaindonesia.com, Komisi Nasional (Komnas) Anak mengungkapkan 21.689.797 kasus pelanggaran hak anak terjadi di 34 provinsi (179 kabupaten/kota) di seluruh Indonesia selama periode April 2013 hingga April 2014. Angka inipun masih merupakan fenomena gunung es, dimana kemungkinan kasus yang tidak terdeteksi dan terlaporkan lebih besar lagi.
Selain itu, diungkap pula bahwa pada 2010, sekitar 2.000 kasus dan 42% di antaranya kejahatan seksual. Pada 2011, 58% dari 2.428 kasus yang diproses kepolisian merupakan kekerasan seksual. “Tahun 2012, 62% kasus (kekerasan seksual) dari 2.637 yang diproses.Sedangkan di tahun 2013, 52% dari 3.338 kasus merupakan kekerasan seksual. Selama Januari hingga September 2014, 2.028 kasus sudah tercatat di kepolisian.”
Bila dilihat lebih jauh tentang kejahatan seksual yang semakin tinggi tersebut, bukan tidak mungkin, bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya dalam masalah konten pornografi yang mudah didapat turut memicu para pelaku untuk melakukan kekerasan dan pelecehan seksual pada anak. Disamping itu, dengan menjamurnya fasilitas chat messenger dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh para predator seks online dalam memperdayai atau melakukan tipu muslihat kepada anak untuk melayani keinginan seksual mereka baik melalui text, gambar, video maupun audio.
Kekerasan dan Pelecehan Seksual Pada Anak
Kekerasan dan pelecehan seksual, kadang dipadang sebagai hal yang berbeda. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pelecehan berasal dari bentuk kata kerja melecehkan yang mengandung pengertian memandang rendah (tidak berharga), menghinakan atau mengabaikan, sedangkan seksual berkenan dengan masalah seks atau jenis kelamin. Sehingga pelecehan seksual dapat diartikan secara bebas sebagai tindakan bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal -hal yang berkenan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual.
Dari pengertian tersebut maka pelecehan seksual merupakan tindakan untuk melakukan penghinaan dan memandang rendah atau merendahkan seseorang dalam masalah seksual yang dapat dilakukan secara fisik maupun non fisik, yang tentunya dilakukan oleh pelaku tanpa dikehendaki oleh korban.
Kemudian bila kekerasan diartikan KBBI sebagai, perihal (yang bersifat, berciri) keras atau paksaan (violence: behavior involving physical force intended to hurt, damage, or kill someone or something). Maka kekerasan seksual lebih dipandang sebagai perbuatan secara fisik yang tentunya juga dilakukan oleh pelaku tanpa dikehendaki oleh korban.
Bagaimana dengan pengertian dalam hukum Indonesia tentang pelecehan? Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana tersebut terdapat pada KUHP mengenai kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan. Pencabulan (pasal 289 -296 ; 2) penghubungan pencabulan (pasal 286-288) namun tidak secara eksplisit menjelaskan apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual dalam kategori yang dimaksud dalam pasal -pasal tersebut.
Selain itu bila pelecehan seksual dihubungkan dengan BAB XIV KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesopanan, khsusnya pasal 281, dimana dalam penjelasannya dikatakan bahwa kesopanan dalam arti kata kesusilaan merupakan perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba alat vital wanita, memperlihatkan alat vital wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Maka tindakan yang dijelaskan di sini lebih banyak menunjukan pada perbuatan fisik bagaimana dengan non fisik yang juga dianggap sebagai pelecehan?
Dalam Undang Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pada pasal 11 disebutkan Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat tindakan yang bersifat non fisik secara langsung pada korban dalam hal pornografi.
Begitu juga dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, khususya pada pasal 82, Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dalam pasa ini telah menyebutkan secara jelas perbuatan non fisik yang dianggap sebagai pelanggaran hukum yang berat terhadap pelakunya.
Dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik, disebutkan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Apabila perbuatan tersebut dilakukan pada anak maka sanksi pidananya disebutkan Pasal 52 yaitu “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok”. Dimana dalam sanksi pidana atas pasal 21 ayat 1 yang disebutkan dalam pasal 45 pelakunya akan dipenjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan demikian, bila berbicara mengenai kekerasan atau pelecehan seksual, khsusnya pada anak, di era yang begitu cepat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, maka perbuatan pelaku dianggap merupakan kejahatan berat bila dilakukan secara fisik maupun non fisik terhadap anak sebagaimana telah diatur secara cukup oleh hukum dan peraturan perundang-undangan, Walau sebagain masyarakat beranggapan perlu dilakukan revisi sesuai dengan perkembangan zaman, terutama dalam pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak.
Khususnya dalam pemanfaatan media sosial dan internet, memang tidak mudah untuk menghadirkan bukti-bukti yang cukup khususnya dalam hal pelecehan seksual melalui text, gambar, audio maupun video dimana dalam kebanyakan kasus, anak yang adalah korban kadang tidak menyadari bahwa dirinya telah dilecehkan secara seksual. Hal ini juga terungkap dalam beberapa kasus, dimana chat messenger merupakan salah satu media dimana anak dapat diperdaya dengan segala tipu muslihat pelaku (kebanyakan orang dewasa) sehingga anak dengan mudah melayani apa yang diminta oleh pelaku, baik melalui percakapan text, gambar, video maupun pembicaraan melalui telepon – audio (baca pengertian sexting).
Kemudian bila ada yang bertanya, apabila pembicaraan secara tertutup atau lewat chat messenger atau telepon yang bermuatan kesusilaan tersebut “dilayani” oleh anak baik secara sadar maupun tidak sadar (karena telah diperdayai) maka apakah kasus seperti ini dapat ditindaklanjuti sebagai kasus pelecehan seksual pada anak bila dikemudian hari korban sadar telah diperdayai atau karena kemudian diketahui orang tuanya? Mungkin akan terjadi perdebatan, apalagi menyangkut bukti-bukti hukum yang cukup pada saat melaporkan atau untuk dihadirkan nantinya di pengadilan. Namun bila merujuk pada beberapa undang-undang di atas maka perbuatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa yang secara sadar mengetahui bahwa calon korbannya adalah seseorang yang berusi anak, maka orang dewasa tersebut dapat dijerat dengan undang-undang yang berlaku tersebut di atas, apapun alasannya.
Dalam Undang-Undang ITE, arti mentransmisikan sesuai KBBI memiliki pengertian mengirimkan atau meneruskan pesan dari seseorang kepada orang lain, sehingga percakapan terbuka melalui media social atau secara tertutup (privat) melalui chat messenger atau telepon yang apabila isinya bermuatan kesusilaan yang tujukan kepada anak dapat dikenakan dengan sanksi hukum yang berlapis dari beberapa Undang-Undang yang disebutkan di atas.
Dengan demikian, dalam masalah pelecehan dan kekerasan seksual pada anak, seharusnya tidak dikenal dalil “suka sama suka” atau “anak menghendakinya”, karena jelas dalam Undang-Undang yang bertujuan dalam perlindungan anak, dalam kasus tersebut anak harus ditempatkan sebagai korban, sekali lagi apapun alasannya.
Tantangan dan Upaya Menindak Para Predator Seks Pada Anak
6 September 2021
9 Agustus 2021
30 Desember 2016
30 Desember 2016