我們只售賣RELX電子煙原裝煙彈,一顆煙彈可以使用3-5天。 提供100%原裝正品RELX煙彈,悅刻菸彈, 各種不同口味齊全,正品RELX專用煙彈現貨快速發貨。 選擇RELX悅刻電子菸煙彈,不要猶豫,按下加入購物車,為你將要到來的時尚和愉快下單!
Kalau pertanyaan ini ditanyakan ke pengguna dewasa apalagi memiliki daya beli yang tinggi baik peralatan maupun paket koneksi internet, tentu saja akan mendapat jawaban beragam, “Maksud Loe? Suka-suka saya dong!”, atau “Lewat smartphone kan bisa belajar banyak hal, diskusi, bergosip, baca berita, berinteraksi dalam debat kusir kan meningkatkan wawasan, semua itu proses belajar bukan? Ini kan soal media saja, jadi menggunakan smartphone memang mempercepat proses belajar apa saja, kapan saja dan dimana saja apalagi harga paket internet semakin murah dan kompetitif”. It’s Ok! Benar semua.
Tapi kalau pertanyaan ini ditanyakan kepada anak-anak kita, para pelajar, mungkin sebagian memiliki argumentasi atau jawaban yang sama. Lewat smartphone dan internet mereka dapat mencari informasi dalam menunjang pendidikan dan pengetahuan mereka, kapan saja dan dimana saja. Justru smartphone adalah cara cepat mendapat “bisikan” dari “mbah google” ketika dihadapkan dengan pertanyaan sulit yang harus dijawab segera.
Ketika pertanyaan tersebut dijelaskan dalam berbagai keterbatasan pemanfaatan smartphone untuk pendidikan secara teknis baik itu kemampuan desain/grafis, video editing, web programming, pelajaran atau ketrampilan lain yang harus dilakukan secara manual (praktek), atau dalam keperluan menggali sebanyak-banyaknya sumber referensi untuk menunjang pendidikan formal (termasuk ke perpustakaan) agar hasil karya dapat dipertanggungjawabkan. Ada yang terdiam.
Jadi apa benar smartphone digunakan siswa lebih banyak untuk belajar (menunjang pelajaran di sekolah) atau malah menghabiskan waktu ngegame, chatting, ber-jejaring sosial? Atau justru saling menunjang? Hmm.. hanya mereka yang dapat menjawabnya dengan jujur.
***
Ketika seorang peneliti, Shriram Venkatraman, melakukan penilitian di Panchagrami-India, kemudian di posting di Blog University College London (UCL), 17 January 2014, yang berjudul “Illiteracy and social media: a picture is worth a thousand words”, dia mengamati beberapa sampel dari penduduk dengan latar belakang ekonomi miskin atau putus sekolah namun berkeinginan kuat untuk dapat memanfaatkan media sosial.
Dalam beberapa kasus, ia menemukan hal unik dimana terdapat pengguna media sosial justru tidak dapat membaca/menulis atau disebut sebagai buta aksara dalam arti umum. Tentu saja banyak pertanyaan yang timbul di benak Venkatraman, bagaimana mungkin mereka memanfaatkannya. Bahkan menurutnya, golongan ini selalu memperpanjang paket koneksi internet pra-bayar tepat pada waktunya.
Tibalah pada kesimpulan, setelah melakukan serangkaian penelitian, termasuk wawancara langsung tentunya dengan mereka. Selain mendapatkan jawaban, bahwa yang pertama kali membuat akun media sosial mereka adalah teman-teman mereka yang dapat baca/tulis. Teman-temannya itu pula yang akan memastikan bahwa mereka selalu tetap login secara otomatis saat membuka media sosial melalui smartphone.
Venkatraman menemukan bahwa gambar (tombol) seperti “Like” atau “share” sangat berperan penting sebagai cara mereka berinteraksi di media sosial, tanpa memberi “Komentar” atau bahkan tidak mengeti apa yang ditulis.
Meskipun mereka tidak tahu cara membaca teks, mereka memandang segala sesuatu sebagai gambar dan simbol. Jadi untuk mengakses YouTube atau Facebook mereka dipandu oleh pemahaman visual daripada pemahaman tekstual.
Sebuah dorongan yang kuat, walau berlatar belakang buta aksara dan tingkat ekonomi lemah (miskin), mereka tidak mau ketinggalan untuk memiliki smartphone dan ikut-ikutan berinteraksi di media sosial.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dengan 74,57 juta pengguna Internet pada akhir tahun 2013, sesuai penelitian MarkPlus Insight terhadap Indonesia Internet Users Survey, (majalah Marketeers edisi November 2013). Penelitian yang sama juga memperlihatkan pola konsumtif dimana rata-rata pengguna internet di Indonesia rela merogoh koceknya sebesar Rp. 100.000 untuk kebutuhan internet per bulannya, bahkan ada yang rela menghabiskan lebih dari Rp. 150.000. Hampir 95% dari pengguna, mengakses internet melalui perangkat mobile (smartphone)
Apa yang ditulis oleh Venkatraman dan survey MarkPlus Insight, mengingatkan kami pada satu judul berita yang ditulis oleh The Guardian (22/10/2010), “How can a country where millions of people are so poor they’ve never even used a computer be the world’s biggest user of Twitter?”
***
Inilah yang menjadi salah satu dasar evaluasi dari Tim IDKITA Kompasiana melakukan road show hari ke dua, pada tanggal 27 Januari 2014, ketika mengujungi dua SMK di Solo dan Sragen, yang kebetulan siswanya memilih jurusan teknik komputer jaringan (TKJ), yaitu SMK Negeri 2 Surakarta, Jalan Laksda Adi Sucipto No 33 (Manahan) Surakarta danSMK Bina Taruna Jl. Solo-Sragen Km. 16 Masaran, Kabupaten Sragen.
Jumlah 74,57 juta pengguna internet, mungkin dari satu sisi dapat dianggap sebagai kemajuan penyebaran akses internet di Indonesia, namun dibalik itu, kami kuatir, jangan-jangan angka tersebut menjadi tolak ukur seolah-olah rakyat Indonesia telah mampu menyerap ilmu TIK sehingga dapat menjadi creator/pencipta produk (software/hardware) TIK untuk bersaing secara internasional atau minimal dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan bakat, pengetahuan bahkan memperoleh nilai tambah dalam menghasilkan pendapatan. Singkatnya, mungkin kita sudah terjajah dengan gaya hidup yang berlebihan tanpa melihat manfaat yang dapat kita peroleh dari perkembangan TIK itu sendiri.
PC/Laptop yang seharusnya dapat digunakan untuk mengexplore lebih dalam kemampuan teknis dalam bidang teknologi maupun dalam meningkatkan bakat dan kreativitas, hanya digunakan di sekolah (apalagi di sediakan terbatas dengan banyak masalah), sementara di rumah memiliki 1 hingga 2 smartphone lebih penting dari pada mengadakan PC/Laptop. Maka mungkin dapat dipahami alasan MarkPlus Insight mengeluarkan statement saat pertama kali melakukan penelitian pengguna internet di Indonesia pada tahun 2010. “Makan nggak makan asal connect“
Selain membekali siswa untuk memproteksi diri mereka dari ancaman penyalahgunaan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) yang merugikan masa depan, Tim IDKITA juga mengingatkan mereka untuk tidak menghabiskan waktu berselancar, chatting, atau bentuk interaksi lain melalui smartphone di media sosial. Apalagi jurusan yang mereka pilih cukup prestisius, jika ditekuni dengan baik dapat menghasilkan generasi bangsa yang handal sekaligus menunjang pendidikan lanjut yang lebih tinggi serta memiliki daya saing dalam lapangan pekerjaan yang membutuhkan keahlian mereka.
Kegitan Road Show IDKITA Kompasiana, di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta untuk Januari 2014 ini terselenggara atas dukungan berbagai pihak khususnya Kowani (Kongres Wanita Indonesia), dan juga mengajak keterlibatan PT Indosat.
Banyak hal yang perlu dipahami mengenai permasalahan dan cara pemanfaatan TIK di kota-kota penyangga (hingga tingkat kecamatan) di Indonesia. Kami menghimbau sekolah untuk dapat menjadi perpanjangan tangan, hati dan suara untuk memajukan daerahnya (hingga ke pelosok desa) dalam memberikan pengetahuan pemanfaatan TIK secara baik dan benar.
Untuk artikel/berita atau laporan lainnya, akan di tulis dalam artikel yang terpisah, karena hari berikutnya yaitu Selasa 28 Januari 2014, Tim IDKITA telah mengujungi SMA Muhammadiyah 5 Surakarta dan pada Kamis, 30 Januari 2014 Tim menyempatkan diri mengujungi Boarding School Mbangun Desa dan SMTK Soteria di Purwokerto untuk memberikan sosialisasi dan berdialog tentang pemanfaatan TIK.
Ilustrasi: thestar.com
*Ditayangkan di Kompasiana, pada tanggal 31 January 2014 | 15:20
6 September 2021
9 Agustus 2021
23 Mei 2016
7 Mei 2016